Ilustrasi antrean pembelian BBM. (Foto: Antara)

Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tengah menjadi perhatian, terlebih setelah diumumkannya kenaikan harga BBM. Salah satu pihak yang menyorotinya adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI menilai penggunaan BBM subsidi, khususnya di DKI Jakarta, harus tepat sasaran.

Merujuk pada UU 30 Tahun 2017 tentang Energi, subsidi energi adalah hak masyarakat yang tidak mampu. Namun, 20 persen penggunaan BBM subsidi justru oleh  masyarakat yang mampu. Hal tersebut disampaikan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam dialog publik yang diselenggarakan oleh YLKI dan Kantor Berita Radio (KBR) pada Selasa, 8 November 2022 secara virtual. Adapun tema yang diangkat adalah “Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta”.  

Tulus menjelaskan, subsidi energi harus adil dan ekologis. “Dalam hal ini, subsidi energi BBM itu untuk masyarakat yang kurang mampu, ‘masyarakat pengendara roda dua’. Subsidi ini tidak disarankan bagi pengendara roda empat,” kata Tulus. Menurutnya, hal itu tidak adil secara ekonomi dan tidak tepat sasaran.


Pengendalian BBM bersubsidi di DKI Jakarta menjadi hal krusial. Menurut Tulus, walaupun transportasi publik sudah bagus, tetapi penggunaan kendaraan pribadi masih dominan. Artinya, cukup banyak BBM yang dialokasikan di DKI Jakarta. Tulus mengingatkan, hal ini akan berkontribusi menyumbang polusi di Jakarta.


Terkait kualitas udara, Direktur Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Luckmi Purwandari mengatakan, kualitas udara di Jakarta membaik setelah pemerintah menaikkan harga BBM pada September 2022. Hal tersebut berdasarkan data kualitas udara pada 5 stasiun pemantauan yang ada di Jakarta. “Sejak September, sejak kenaikan BBM 65 hari lalu, data kualitas udara di Jakarta kecenderungannya membaik. Sedangkan, indeks standar pencemaran udara atau ISPU nilainya menurun,” kata Luckmi.


Luckmi berpendapat ada dua hal yang dapat menyebabkan kualitas udara membaik. Pertama, kenaikan harga BBM membuat masyarakat beralih ke transportasi publik. Sebab, kendaraan bermotor menyumbang besar pencemaran udara di Jakarta. Kedua, perbaikan kualitas udara bisa terjadi karena jenis BBM yang digunakan kendaraan bermotor sudah lebih baik. Terlebih, pemerintah pusat membatasi penggunaan BBM bersubsidi.


Luckmi pun mengimbau masyarakat untuk berperan mengurangi pencemaran udara dengan menggunakan transportasi publik, berjalan kaki, atau bersepeda apabila mobilitas jarak rendah.


Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Dinas Perhubungan (Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo. Ia turut mengimbau masyarakat untuk menggunakan transportasi publik agar pemerintah dapat menghemat anggaran subsidi BBM. Menurut Syafrin, menggunakan transportasi publik akan lebih menghemat waktu perjalanan dibandingkan dengan kendaraan pribadi. 


“Jika kita menggunakan kendaraan pribadi, kita akan menghadapi kepadatan lalu lintas atau kemacetan sehingga tidak adanya kepastian waktu untuk mencapai tujuan. Karena layanan TransJakarta sudah steril lajurnya. Kemudian bila menggunakan KRL, MRT, atau LRT, di sana pasti adanya kepastian waktu keberangkatan dan juga kedatangan di stasiun yang sudah ditentukan,” kata Syafrin.


Tulus menambahkan, ada dua rekomendasi yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. “Pengendalian BBM subsidi itu harus secara operasional, dalam arti harus ada insentif dan disinsentif,” ungkapnya.


Insentif yang dimaksud adalah Pemprov DKI Jakarta harus mendorong penyediaan angkutan umum sebanyak mungkin agar terjadi migrasi ke transportasi publik. Hal itu dinilai akan berkontribusi untuk menurunkan emisi.


Sementara disinsentif, menurut Tulus, jika masyarakat masih enggan menggunakan transportasi publik yang disediakan, maka masyarakat harus menggunakan BBM yang lebih mahal. “Karena dia telah mencemari lingkungan dengan bahan bakar yang digunakan kendaraan pribadinya,” ujarnya.


Lebih lanjut, kata Tulus, warga Jakarta seharusnya menggunakan bahan bakar yang berkualitas lebih tinggi. Sebab, tingkat emisi di Jakarta itu paling tinggi di Indonesia. 


Tulus  menyampaikan, jika Jakarta ingin warganya semakin sehat, bersih, dan nyaman, maka Jakarta harus menggunakan BBM yang berkualitas dan ramah lingkungan. “Sekuat apapun angkutan umumnya, pasti orang itu memilih kendaraan pribadinya kalau angkutan umumnya belum dianggap memadai,” jelasnya.


Penulis: Muhammad Rizqi Akbar


0 Comments