©Akbar/Bal

Hamparan pasir memenuhi seisi ruangan. Suara musik yang menyayat terus menggema di dalam ruangan. Pecahan kaca bening dengan kilau hijau berserakan di atas gundukan pasir, bak lautan disinari matahari yang tampak dari tepi pantai. Di sudut lain, lampu-lampu kristal bercahaya menggantung di langit-langit. Empat lampu panjang menyala terang tampak menancap di tubuh patung anjing berkepala tengkorak. Di sebelahnya, seperangkat lampu kristal menimpa piano kayu yang remuk.

Seni instalasi itu berjudul Love Is a Many Splendored Thing, karya seniman Jompet Kuswidananto. Instalasi ini merupakan salah satu karya yang dipamerkan ARTJOG pada 8 Juli–31 Agustus 2021, di Jogja National Museum. ARTJOG tahun ini akhirnya digelar secara luring dan daring selama masa pandemi COVID-19. 

Di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), ARTJOG 2021 tetap berlangsung dengan segala pembatasan dan keterbatasan. Siang itu (05-08), Balairung berkesempatan untuk mengunjungi ARTJOG dalam rangkaian kunjungan media yang digelar oleh panitia. Suasana dalam gedung cukup tenang. Hanya dua-tiga panitia yang berlalu-lalang. Hari itu, hanya beberapa orang yang dijadwalkan datang.

Kali ini, ARTJOG mengangkat ihwal waktu, dengan tajuk “Time (to) Wonder” atau “Waktu untuk Keajaiban”. Ada 41 seniman yang berpartisipasi dalam gelaran ini. Salah satunya adalah Jompet, ia dikenal sebagai seniman yang berkarya dengan berbagai medium. Mulai dari karya instalasi, suara, video, hingga teater. Banyak karyanya menyuarakan tentang sejarah Indonesia, isu-isu politik, kolonialisme, dan mobilisasi masa dalam konteks Indonesia pasca-reformasi.

Dalam instalasinya, Jompet mencoba menyajikan romantisisme dalam sejarah. Melalui puing-puing kaca, ia menghadirkan sejarah tentang imaji pertarungan, penaklukan, kehancuran, dan kemenangan. Ia hendak menyajikan romantisisme dalam sejarah Indonesia. Instalasi ini mengisyaratkan, barangkali sejarah memang tersusun atas puing-puing kekacauan, luka yang terus dibuat mengkilap; berkilauan dan menyilaukan. Agung Hujatnikajennong, kurator ARTJOG menyebut, “Instalasi Jompet ini merupakan sebuah instalasi yang secara puitis melihat sejarah sebagai narasi tentang pertarungan dan kekerasan di masa lalu.”

Dalam pengerjaannya, Jompet menyatukan pengalamannya dengan cerita-cerita perjuangan dan kemenangan. Instalasi utama berupa lanskap pantai dengan hamparan pecahan kaca dan pasir itu ia kerjakan selama lima bulan. Pecahan kaca itu ia dapatkan dari pabrik kaca di Jakarta. Sementara untuk menamai instalasinya, Jompet meminjam judul lagu Andy Williams, penyanyi Amerika Serikat. “Love Is a Many Splendored Thing merupakan sebuah lagu yang dinilai memberikan penghormatan pada cinta sebagai sesuatu yang mulia nan megah. 

Love Is a Many Splendored Thing, Karya Jompet Kuswidananto | ©Akbar/Bal
Love Is a Many Splendored Thing, Karya Jompet Kuswidananto | ©Akbar/Bal

Kekerasan di masa lalu juga hadir pada karya Sirin Farid Stevy yang berjudul Dongo Dinongo Reactor65 tangga bambu bertuliskan cerita sedih penyintas tragedi 1965 mengitari sebagian ruangan. Tampak televisi hitam-putih, ceret, dan gelas diletakkan di tengah ruangan. Di baliknya, tampak setumpuk buku, mesin ketik, serta dua keranjang bunga tabur. Farid mendapatkan bambu-bambu itu dari hibah keluarga, kerabat, penyintas tragedi 1965, dan orang-orang yang peduli pada rekonsiliasi 1965. “Jadi, ini merupakan karya instalasi partisipatoris,” kata Farid. 

Farid melengkapinya dengan lukisan, gambar, dan catatan yang dibuat mengiringi proses dari waktu ke waktu. “Dalam proses pencarian, saya dihadapkan dengan berbagai peristiwa yang membuka cakrawala laku Jawa dan memantik berbagai kesadaran dalam mengenali Jawa,” ujar Farid. Aroma bunga pun turut menyebar dan mengantar pada suasana ziarah. 

Dongo Dinongo Reactor merupakan proses panjang dan berkelanjutan tentang penelusuran lokasi makam kakeknya, yang bernama Sirin. Dalam pengerjaannya, Farid Stevy berkolaborasi dengan ayahnya, Asto Puaso. Mereka menelusuri lokasi makam Sirin, hingga ke Gua Grubug di Kecamatan Semanu, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Perjalanan Farid bersama keluarga saat nyekar ke Gua Grubug, terekam dalam video yang diputar di balik tangga-tangga yang disusun rapi itu. 

Sirin sendiri merupakan seorang Sekretaris Desa Pelembutan, Playen, Gunungkidul, kala itu. Farid dan keluarga berusaha merestorasi sejarah Sirin, yang secara historis berelasi dengan wilayah tersebut. “Upaya ini merupakan rekonsiliasi kecil, partisipasi, keterbukaan dialog, doa, dan dukungan dari keluarga,” terang Farid. Sejak 2006, sebenarnya keluarga Farid telah mencari kuburan Sirin, yang hilang saat tragedi pembantaian 65 terjadi. Penelusuran pun berakhir pada 2020, di Luweng Grubug, yang diduga sebagai tempat eksekusi orang-orang terlibat organisasi komunis pada 1965–1966. Mereka meyakini tempat tersebut merupakan lokasi terakhir Sirin.

Dongo Dinongo Reactor, Karya Sirin Farid StevyDongo Dinongo Reactor, Karya Sirin Farid Stevy | ©Akbar/Bal

Nuansa tragedi 1965 pun turut hadir dalam karya Agung Kurniawan. Nasib penyintas pembantaian 65 ia representasikan lewat chandelier atau lampu gantung yang dikelilingi baju bekas para penyintas. Baju-baju itu berwujud kebaya, batik, rok, dan kutang yang tampak mengambang. Lampu gantung ini diletakkan dalam ruangan dengan dinding berwarna merah darah. 

Karya Agung ini berjudul Maukah Engkau Menari Denganku Sekali Ini Saja? Menurutnya, lampu gantung ini mewakili orang-orang yang dilupakan, ditinggalkan, dan menjadi kambing hitam dalam kondisi yang terus berulang. Umumnya, lampu gantung selalu identik dengan kemewahan, kejayaan, dan kemapanan. Ia biasanya digantung di ruang tamu rumah raja, adipati, atau orang kaya. Namun, lampu redup ini digantung di pojok ruang gelap. Menurut Agung, layaknya pada genosida ‘65, lampu redup ini adalah harapan. “Berharap diakui sebagai korban genosida di tahun ‘65 atau jadi kambing hitam selamanya,” ungkap Agung. 

Sementara itu, The Reckoning berupaya menggambarkan sejarah kelam yang dialami oleh perempuan. Karya ini hasil kolaborasi Nadiah Bamadhaj dengan kelompok musik Senyawa. Inspirasinya adalah kisah Calon Arang di masa Kerajaan Airlangga, pada abad ke-12. Dikisahkan, Calon Arang adalah seorang janda sekaligus penyihir yang ditakuti. Calon Arang pun dianggap mendatangkan wabah bagi kerajaan.

Nadiah menilai, kisah Calon Arang merupakan wujud seksisme di masa lampau. Menurutnya, seorang janda yang sudah lanjut usia, akan dituding sebagai penyihir. Ia dianggap sebagai pertanda kekacauan tatanan sosial. “Secara konsisten, Calon Arang digambarkan dengan cara-cara negatif, misal karena usianya atau kondisi seksualitasnya yang menopause,” kata Nadiah. Karya ini pun berupaya menentang standar ganda seksis patriarki. The Reckoning, Nadiah gambarkan dengan wujud organ kewanitaan berwajah perempuan renta. Rupa nenek tua itu penuh kutil dan kerutan. Karya itu terletak dalam ruangan berlatar hitam dengan lampu yang menyorot ke “organ kewanitaan”.

The Reckoning, Karya Nadiah Bamadhaj dan Senyawa | ©Akbar/Bal

Eko Nugroho, seniman level internasional asal Yogyakarta pun turut memamerkan karyanya soal waktu. Warna kuning mendominasi karya Eko yang berjudul Destroyed in Peace atau Hancur dalam Kematian. Instalasi ini menggambarkan fenomena wabah COVID-19 yang tengah melanda. Karya ini merefleksikan dunia yang telah mengalami sebuah kehancuran dalam kedamaian.

Instalasi karya Eko terdiri dari karya bordir, lukisan, dan beberapa patung. Karya bordir merefleksikan bentuk invasi masif terhadap sejarah atau manusia itu sendiri. Keempat panel lukisan menyimbolkan situasi dan kondisi pada beberapa figur dalam menghadapi wabah COVID-19. Lalu, karya patung berupa tengkorak menyimbolkan penderitaan yang dialami oleh manusia akibat pandemi. “Tengkorak itu juga menjadi penanda bahwa inilah era kita menghadapi sebuah pertempuran dan kehancuran manusia,” jelas Eko.

Karya-karya yang dipamerkan ARTJOG pada edisi ini, merupakan hasil kurasi melalui undangan dan seleksi panggilan terbuka. Sebagian besar seniman terpilih, menampilkan karya seputar ingatan dan sejarah. Kurator ARTJOG, Bambang ‘Toko’ Witjaksono menganggap hal ini sebagai suatu fenomena menarik. “Boleh jadi, imajinasi seniman-seniman tentang waktu lebih dikendalikan oleh warisan masa lalu, ketimbang proyeksi masa depan,” kata Bambang.

Meski didominasi soal waktu di masa lalu, ada beberapa karya yang berusaha melakukan pendekatan berbeda. Misalnya, yang coba dilakukan oleh Nurrachmat Widyasena pada PT. Besok Jaya Taimket WP 01Melalui karyanya itu, ia mencoba bermain-main dengan imajinasi tentang mesin waktu dan masa mendatang. Suvi Wahyudianto juga melakukan hal berbeda dalam karyanya, Telepresence after 20th. Suvi memanfaatkan aplikasi Google Maps untuk menelusuri waktu via ruang virtual yang serba terukur dengan ingatan pribadi yang tak pasti.

Hal yang tak pasti juga terjadi pada situasi hari-hari ini. Seperti halnya nasib ARTJOG di kala pandemi. ARTJOG masih belum dapat dikunjungi oleh publik secara langsung selama PPKM. Meski begitu, Direktur ARTJOG, Heri Pemad beserta tim tidak mau mundur di tengah situasi yang tak menentu ini. Heri menjelaskan bahwa seri pameran kali ini telah dipersiapkan sejak lama. 

Heri mengakui bahwa situasi pandemi ini sangat tidak menguntungkan untuk perhelatan seperti ARTJOG. Ia pun tidak menyangka kalau wabah semakin mengganas dengan penularan varian baru semakin cepat. Perubahan-perubahan kebijakan selama masa pandemi, pun menantangnya untuk merencanakan segala sesuatu dengan lebih rinci. Kali ini, ia siap merugi besar-besaran karena panitia belum dapat memperoleh pemasukan dari penjualan tiket. Meski begitu, “ARTJOG ingin tetap konsisten memberikan kontribusi dengan menyediakan ruang presentasi untuk eksplorasi artistik para seniman kontemporer,” ujar Heri.

Penulis: M. Rizqi Akbar
Penyunting: Deatry Kharisma Karim
Fotografer: M. Rizqi Akbar

Artikel ini telah terbit di balairungpress.com pada 14 Agustus 2021, dengan judul "ARTJOG: Ihwal Waktu, Masa Lalu Selalu Laku". Link: https://www.balairungpress.com/2021/08/artjog-ihwal-waktu-masa-lalu-selalu-laku/

0 Comments