Rabu (1/5), sekitar pukul 11.00 WIB, massa aksi peringatan Hari Buruh mulai memenuhi Jalan Malioboro. Mereka berasal dari Aliansi Rakyat Untuk Satu Mei (ARUS) dan Gerakan Rakyat Untuk Satu Mei (GERUS). Dalam aksi ini, mereka melakukan ​ long march dari Taman Parkir Abu Bakar Ali, menuju kantor DPRD dan kantor Gubernur Yogyakarta, sampai pada puncaknya di Titik Nol KM, mereka menyuarakan aspirasinya.

Beberapa serikat buruh yang tergabung dalam ARUS, antara lain Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) serta beberapa organisasi lainnya. Sedangkan, yang tergabung dalam GERUS diantaranya Federasi Serikat Buruh Militan (F-SEBUMI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Perserikatan Sosialis, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta serta beberapa organisasi mahasiswa (BEM KM UGM, Dema Justicia UGM, LEM FH UII, BEM KM UMY dan lain-lain).

Massa aksi yang tergabung dalam beberapa aliansi ini mendorong tuntutan pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Bangkit Darojat, anggota F-SEBUMI yang tergabung dalam aliansi GERUS, menilai peraturan tersebut mengekang peran serikat buruh untuk ikut dalam perundingan penentuan upah setiap tahunnya. Hal itu dianggap menjadi salah satu penyebab rendahnya upah minimum buruh, khususnya di Jogja. “Justru peraturan tersebut semakin menyusahkan buruh karena, menurut peraturan tersebut, kenaikan upah berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Seharusnya berdasarkan pada survey KHL (UU No. 13 Tahun 2003),” lanjut Bangkit.

Menurut Feri Taufik, Koordinator Umum ARUS, upah minimum di Jogja masih terlalu rendah dibanding dengan daerah lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, buruh di Jogja kerap menuntut kenaikan upah minimum. Namun, tuntutan tersebut tidak ditindaklanjuti. Upah minimum Jogja tetap rendah sehingga tuntutan itu kembali disuarakan dalam aksi tahun ini. Hal serupa disuarakan oleh mahasiswa yang secara bergantian berorasi di Titik Nol KM. Dalam orasi, para mahasiswa mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan buruh. Dengan upah yang begitu rendah, buruh akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan keluarganya. “Kami bersolidaritas untuk melawan kekuasaan yang tidak mau memberikan jaminan kesehatan dan jaminan kesejahteraan bagi pekerja,” jelas Aldi, selaku Humas dari aliansi GERUS.

Ridwan, mahasiswa Filsafat UGM yang terdorong mengikuti aksi ini, juga menyatakan hal yang serupa dengan Aldi. “Hari buruh harus dimanfaatkan sebagai momen penyampaian kritik terhadap sistem ketenagakerjaan yang salah. Dengan begitu akan ada perubahan ke arah yang lebih baik,” jelas Ridwan.

Selain tentang masalah upah minimum yang rendah, massa aksi juga menuntut pemerintah memperbaiki beberapa peraturan yang dinilai merugikan buruh. Tuntutan tersebut di antaranya ialah menghapus sistem kerja kontrak, pemagangan dan ​ outsourcing​, cuti haid dan cuti hamil tanpa syarat, tolak PHK sepihak, tindak tegas perusahaan yang tidak membayar iuran BPJS dan menjamin serta melindungi kebebasan berserikat bagi rakyat. Feri berharap tuntutan dalam aksi ini akan membuahkan hasil. Terutama perihal kenaikan upah minimum di Jogja. Dengan upah minimum saat ini, buruh tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Pemerintah perlu mengistimewakan para buruh, khususnya dalam penentuan upah. “Yang kami serukan adalah perjuangan bagi warga Jogja yang Istimewa, upahnya pun harus istimewa,” pungkas Feri.

Penulis: M. Rizqi Akbar
Penyunting: Fahmi Sirma Pelu

 Artikel ini telah terbit di balairungpress.com

0 Comments